Dua anakku hadiah terindah dari Allah
Dua anakku
hadiah terindah dari Allah;
Anak Pertama dari Kehamilan Keempatku
Memiliki
anak adalah impian semua keluarga yang membina rumah tangga, tak terkecuali diriku. Sebulan setelah menikah, aku hamil, ini
adalah kado terindah dari Allah Subhana Wata’allah. Apalagi menurut mitos suku
Jawa, katanya itu masa-masa hamil “manten” (hamil pada masa bulan madu). Konon
ceritanya, jika istri hamil saat manten, hidupnya akan senang dan disayang
mertua. Meskipun aku kurang percaya apalagi suamiku yang berasal dari suku
Minang, tetapi bahagiaku dan suamiku tiada terkira.
Karena
bahagianya, suamiku selalu memanjakanku dengan mengabulkan semua keinginanku,
terutama soal makanan. Katanya dia takut, jika keinginan orang hamil tidak
dituruti, konon nanti lahir anaknya akan selalu
ngences (ngences = selalu mengeluarkan air liur). Dari rasa bahagia dan
takut punya anak yang suka ngences, suamiku bahkan pernah berpesan padaku pada
suatu malam saat kami rebahan di tempat tidur.
“Dek,
biar anak kita
ngak ngences, apa yang mau adek makan dan minum, makan aja asal bukan makanan
dan minuman yang haram,” kata suamiku
saat itu.
Masih
kuingat saat itu, awal bulan Oktober tahun 2001, usia perkawinanku baru memasuki bulan ke empat, dan usia kehamilanku
baru lima belas
minggu ( tiga bulan dua minggu). Aku bekerja di sebuah media lokal yang ada di Medan
sebagai wartawati. Karena kehamilanku aku pun meminta ditugaskan di kantor DPRD
Sumut, agar tidak terlalu banyak beraktivitas. Karena aku termasuk wartawan
senior yang sudah lama mengabdi, keinginanku pun dikabulkan oleh Pemimpin
Redaksi.
Siang
itu, saat cuaca matahari sangat terik, sepulang dari kantor DPRD Sumut, aku
singgah di kantin kantor. Duduk santai sembari menikmati angin dan memesan satu
botol fanta dengan es batu. Sangat kunikmati fanta itu, segar dan terasa sejuk
ditenggorokanku, dan entah kenapa aku merasa anak yang dalam kandunganku juga
merasakan kesegaran fanta itu. Tak puas
dengan sebotol fanta, kemudian aku pesan lagi satu botol yang dituangkan dalam plastik yang
sudah dicampur es.
Baru lima belas
menit aku mengakhiri minumanku tiba-tiba perutku sakit, mulas seperti
berputar-putar. Kutahankan karena tugas belum selesai, lama kelamaan sakit itu
bertambah bahkan pinggangpun terasa diremas-remas. Dengan kondisi yang tidak
nyaman tersebut, dan setelah tugas selesai, aku minta diantar teman sekantor
pulang. Tapi tidak langsung pulang, merasa tidak nyaman dengan rasa sakitku,
aku minta temanku untuk mengantarkan aku
ke klinik bersalin tempat dimana setiap bulan aku memeriksakan
kandunganku. Setelah kuceritakan penyebab sakitnya, bidan yang menanganikupun
berpesan bahwa soda tidak boleh diminum orang hamil karena bisa menjatuhkan
janin.
Masih
kuingat saat itu, setelah mendapat perawatan, aku diperbolehkan pulang,
meskipun aku merasa tidak nyaman dan minta dirawat, takut terjadi hal-hal yang
tidak diinginkan. Tapi saat itu bidannya menyakinkan kalau kandunganku
aman-aman saja karena disuntik kuat. Akupun diantar pulang oleh temanku
kerumah. Suamiku belum tahu kondisiku karena dia belum pulang berdagang.
Sesampainya
di rumah, kuceritakan kondisiku pada ibuku, karena kebetulan kami masih tinggal
satu rumah dengan orang tua. Ibuku pun mengingatkan agar ke depannya aku jangan
minum minuman yang bersoda. Hari menjelang magrib saat itu, sakit dipinggangku
semakin bertambah. Ibuku memanggil nek
Inem, nenek-nenek yang biasa menolong persalinan dengan cara tradisional, di
kampung tempat tinggal kami nenek itu disebut dukun kampung. Perutku pun
diperiksa, setelah memeriksa, nek Inem berbisik sama mamakku. Entah apa yang
dibisikkannya aku tidak peduli karena sakit yang tak tertahankan.
Lima
belas menit setelah perutku dikusuk oleh Nek Inem, rasa sakitku hilang,
tiba-tiba ada rasa ingin buang air kecil. Akupun bangkit ke kamar mandi, tapi
ibuku saat itu melarang aku buang air kecil di kloset, akupun menurutinya. Tak
disangka saat aku buang air kecil keluar darah dan gumpalan daging yang membuat
aku menangis dengan menyebut nama Allah. “Ya Allah, apa ini ?” jeritku. Ibuku
menghampiriku lalu memapahku ke kamar, tidak begitu lama datang suamiku yang
saat itu membawa rujak untukku. Ibuku bilang sama suamiku, agar bersabar karena
anak kami sudah tidak ada lagi. Nek Inem merasa ketakutan, dia takut suamiku
marah, tapi buru-buru ibuku bilang, “Belum rezeki itu ri, Insya Allah lain kali
istrimu akan hamil lagi,”.
Meskipun
sudah mendapat nasehat dari orang tuaku, suamiku tetap berduka kehilangan anak
kami, dan yang lebih menyedihkan, janin yang keluar saat itu ada dua
ari-arinya, berarti anaknya kembar. Suamiku membersihkan janin yang masih kecil
dan ari-arinya masih sebesar belahan jengkol, lalu dibungkusnya menggunakan
kain kapan lalu dikuburkannya di kuburan dekat kuburan bapaknya.
Pasca
keguguran, nek Inem membuatkan jamu untukku, katanya jamu itu untuk membersihkan
kandungan dan menyuburkan kandungan agar
aku segera hamil setelah nifas. Menurut ibuku, tiga bulan aku tidak boleh
melakukan aktifitas hubungan seksual karena usia kandunganku saat itu sudah
hampir empat bulan. Kuikuti saran ibuku, tetap kuminum jamu yang dibuatkan nek
Inem. Karena khawatir, dua bulan pasca keguguran aku dan suamiku melakukan USG
untuk melihat kondisi rahim, alhamdullilah bersih.
Ternyata,
ada cerita dibalik bisik-bisik antara nek Inem sama ibuku. Kata ibuku, saat
diperiksa nek Inem, janinku sudah berada di bawah kandungan, tapi ari-arinyanya
masih di rahim. Kata ibuku, kalau kondisi tersebut ditangani dokter atau bidan,
bisa-bisa rahimku harus dikuret dan agak susah punya anak. Nem Inem telah
membantuku mengeluarkan ari-ari yang masih dalam rahim, Wallahualam (hanya
Allah) yang tahu. Tapi aku sangat bersyukur karena kondisi rahimku bersih paska
keguguran.
Tiga
bulan paska keguguran, setelah selesai nifas, kamipun kembali melakukan aktifitas
seksual, dan alhamdullih satu bulan kemudian aku kembali hamil. Kali ini aku
berniat tidak akan sembarangan makan maupun minum, sembari selalu berdoa agar
Allah SWT menjaga saya dan anak saya. Aku masih ingat saat itu, usia
kandunganku masih enam minggu, tiba-tiba perut dan pinggangku sakit, gejalanya
sama seperti saat aku keguguran yang pertama. Akupun pergi kebidan, di tempat
bidan yang berbeda karena kecewa dengan bidan pertama. Saat itu, aku juga
disuntik kuat, tapi setelah disuntik, kakiku terasa lemas bahkan tak bertenaga.
Suamiku mulai ketakutan, dia bertanya apa yang telah disuntikkan padaku, dan
bidan yang merawatku mengatakan hanya suntik penguat janin.
Sesampainya
di rumah, hal yang sama terjadi seperti saat hilangnya anak pertamaku. Rasa
sakit yang menghilang dan kemudian mengeluarkan darah. Karena usia kandungan
baru lima minggu hanya gumpalan darah yang keluar. Aku menangis, suamiku
menangis, ibu dan ayahku juga menangis. Malam hari aku dan suamiku saling
pandang, tanpa berkata-kata sepertinya kami saling bertanya, dosa apa yang
sudah kami lakukan sehingga Allah SWT memberikan cobaan yang begitu berat.
Pelan-pelan kutanya suamiku, apakah dia sudah banyak menyakiti banyak wanita.
Semula dia tersinggung, lalu angannya mengingat-ngingat masa lalu dan
dipastikannya dia tidak pernah menyakiti hati wanita atau mengecewakan wanita
sebelum menikah denganku. Akupun mengingat-ingat apakah aku ada menyakiti hati
laki-laki, tapi seingatku tak pernah, pernah punya pacar tapi berpisah
baik-baik.
Dalam
doa-doa malamku aku terus bermunajat, bermohon kepada Allah agar diberi
keturunan. Aku berjanji dalam hati, jika kelak diberi amanah aku akan
menjaganya dan akan memberikan yang terbaik buat anak-anakku. Begitu juga
dengan suamiku, dia mengatakan padaku Inn sya Allah akan menjaga anak-anak kami
dengan baik. Aku kembali mengikuti saran ibuku untuk kembali meminum jamu yang
dibuatkan Nek Inem. Dan setelah pasca
nifas, karena usia kehamilan baru lima minggu, menurut ibuku kalau sudah bersih
dan sudah lewat 40 hari sudah bisa melakukan hubungan suami istri.
Satu
bulan kemudian, paska nifas, usia perkawinanku sudah satu tahun, dan akupun
kembali hamil anak yang ketiga. Gelisah, cemas menghantui perasaanku, aku takut
kecewa jika nanti aku kembali keguguran. Kehamilanku kusembunyikan dari
suamiku, tapi akhirnya dia tahu juga kalau aku hamil. Ketika usia kandunganku
berusia lima minggu, suamiku mengajak pindah ke rumahnya dengan alasan siapa
tahu kalau tinggal dirumahnya, bisa punya anak. Kebetulan dia juga anak bungsu,
ketika mertuaku meminta aku tinggal dirumahnya, ayah dan ibukupun merestui, dan
akhirnya aku pindah.
Usia
kandunganku saat itu 8 minggu, tepat dua bulan. Mertuaku menyarankan agar aku
datang ke rumah orang tua ‘pintar’ yang juga dukun bayi, namanya nek Ribut.
Kakak iparku juga katanya pernah kesana. Untuk menyenangkan hatinya, akupun
menuruti dan menurutku ini adalah salah satu ikhtiar yang harus aku lakukan
untuk punya anak. Seperti nek Inem, ternyata nek Ribut juga meminta aku meminum
jamu ramuannya. Karena menurutnya rahimku lemah dan harus dikuatkan dengan
meminum jamu ramuannya.
Saat
usia kehamilanku 12 minggu atau tiga bulan, kakak iparku menikah. Seperti
layaknya orang pesta tentunya banyak kesibukan dan keramaian. Aku disarankan
untuk tidak capek dan jangan ikut membantu pesta. Tapi tidak mungkin, tetap
saja ada kesibukan yang kulakukan, hingga akhir pesta. Aku merasakan badanku letih
sekali, pinggangku mulai sakit, rasa cemas menggelayut dalam hatiku, “Ya Allah
apakah cobaan ini akan datang lagi,” pikirku saat itu sembari menangis. Suamiku
yang mengetahui kondisiku lemah memberitahukan kepada mertuaku. Mertuaku saat
itu meminta suamiku menjemput Nek Ribut, dan kamipun dilarang ke klinik. Kami
ikutin sarannya, suamikupun menjemput nek Ribut, tapi belum lagi suamiku sampai
ke rumah, janin dalam rahimku pun sudah jatuh.
Aku
menangis, suamiku menangis, berdua kami saling membisu kembali mengkaji apa
salah yang sudah kami lakukan. Aku mengingat masa laluku, karena aku seorang
wartawati aku selalu tidur malam dengan mencari berita investigasi, akupun dulu
perokok. Dalam doa-doa malamku aku selalu memohon ampun atas masa laluku,
meskipun aku tidak yakin masa laluku yang membuat aku tidak bisa punya anak,
karena apa yang kulakukan tidak melanggar norma-norma agama. Soal merokok, aku
juga punya teman yang sejak usia 19 tahun merokok, menikah di usia 35 tahun,
tapi langsung punya anak.
Setelah
pasca nifas, kami tidak juga melakukan aktivitas seksual, kekecewaan dan rasa
takut mengalami kegagalan membuat kami saling diam. Tidak saling menyalahkan
tapi kami saling merasa bersalah. Komunikasi dengan suami juga semakin jarang,
aku sering pulang malam, waktu sering kuhabiskan dikantor untuk menghindari
bertemu dengan suamiku. Tapi suamiku tahu aku tidak kemana-mana, hanya
dikantor. Kondisi keluargaku yang kurang harmonis sepertinya terbaca oleh abang
iparku, yang tinggal di samping rumah mertuaku. Hingga pada suatu malam kami
berdua dikumpulkannya untuk diajak berbicara tentang masalah yang kami hadapi.
Kamipun menyakinkan bahwa tidak ada masalah apapun diantara kami, tetapi kami
mulai sadar bahwa apa yang kami lakukan itu salah.
Menyadari
ada kesalahan diantara kami, kamipun mencoba untuk memperbaikinya. Suamiku
berinisiatif untuk refresing dengan pergi ketempat wisata dan menginap di
Brastagi. Dua minggu setelah itu, harusnya aku haid sesuai tanggalnya, tapi ini
tidak. Aku yakin aku kembali hamil. Aku kembali cemas, uring-uringan bahkan
malas beraktifitas sehingga sikapku itu menimbulkan tanya dari teman-temanku di
kantor. Akhirnya aku bercerita dengan salah seorang teman sekantorku tentang
kondisiku, sampai akhirnya dia mengajak aku kerumah kakaknya yang juga bidan.
Aku ceritakan kondisiku saat ini, sepertinya aku hamil tapi aku belum melakukan
pemeriksaan. Kakak temankupun memberikan saran agar aku berobat ke dokter ahli
kandungan yang selama ini luput dari pikiranku. Selama ini yang aku lakukan
berobat pada dukun kampung yang disarankan orang tuaku dan mertuaku. Dalam hati
aku berdoa, “Ya Allah mungkin ini adalah jalan untuk aku dapat memiliki
momongan”. Akupun diberi kartu nama oleh kakak temanku, kartu nama seorang
dokter ahli kandungan.
Sepulang
dari rumah kakak temanku, malamnya kuceritakan kejadian-kejadian yang kualami
pada suamiku. Kamipun saling berpelukan bahagia, karena kemungkinan aku kembali
hamil. Suamiku pun mengantarkan aku ke rumah sakit dimana dokter ahli kandungan
itu bertugas. Kuceritakan pada dokter itu bahwa aku mendapatkan kartu nama dari
salah seorang bidan. Aku pun di periksa dengan tes kehamilan, hasilnya positip
aku hamil, usia kandunganku diperkirakan seminggu. Lalu, dokter ahli kandungan
itu meminta kami datang ke tempat prakteknya untuk dilakukan pemeriksaan
lanjutan.
Hari
itu aku tidak bekerja, sepulang dari rumah sakit menunggu waktu sore untuk
datang ke tempat praktek dokter ahli kandungan itu. Sorepun tiba, satu jam
sebelum waktu buka praktek kami sudah sampai, sehingga kami menjadi pasien
dengan nomor urut satu. Saat itu aku di USG, dokter menunjukkan letak janin
yang ada dalam rahimku pada suamiku. Kemudian dokter menjelaskan, untuk
pemeriksaan awal tidak perlu ke labolatorium, bapak cukup melakukan hubungan
suami istri, besok datang lagi. Pesan dokter itu tentunya membuat tanya di hati
kami, begitupun pesan dokter kami lakukan.
Esoknya,
sesuai dengan janji kami datang lagi ke tempat praktek dokter itu. Kami juga
menjadi pasien pertama. Usaha dan harapan ingin memiliki momongan membuat kami
bersemangat untuk berobat ke dokter kandungan, tak peduli berapapun biayanya. Saat
itu, aku kembali di USG dengan alat dokter yang canggih, kemudian gambar dan
gerakan dalam janin disimpan dalam komputer yang terhubung dengan alat USG. Meski
pristiwa itu sudah berlangsung 13 tahun yang lalu, tapi dibenakku masih
teringat apa kata dokter saat itu.
“Bapak
dan ibu memang mau punya anak ?, tanya dokter saat itu. Kami tentunya serentak
mengangguk.
“Kandungan
ibu kemungkinan lemah, karena itu kita akan beri vitamin dan obat penguat agar
janin terjaga. Tetapi yang menjadi masalah adalah sperma yang dimiliki bapak
sangat kuat, hingga dapat menyerang janin yang sudah jadi embrio,” kata dokter
saat itu sembari menunjukkan gambar seperti jentik-jentik yang ada di komputer
yang jumlahnya sangat banyak. Dokter mengatakan jentik-jentik itu adalah sperma
baru dari hasil hubungan kemarin. Kami tidak mengerti mengapa sperma itu harus
menyerang janin, kami tetap diam mendengarkan penjelasan dokter, sampai
akhirnya dokter mengatakan kalau kami harus menjaga janin yang sudah jadi.
“Selain
upaya vitamin yang kita berikan, upaya yang paling penting dari bapak. Kalau memang
mau punya anak, bapak harus sabar menunggu janin itu benar-benar kuat,” kata
dokter yang membuat suamiku bingung.
“Tolong
bapak jangan dulu masukkan sperma dalam rahim, kalaupun mau berhubungan buang
dulu di luar sampai janin benar-benar kuat,” kata dokter waktu itu. Kamipun
mengerti dan suamiku siap menjalankan perintah dokter. Dokter juga berpesan
agar aku tidak sembarangan makan dan minum yang mengandung asam yang tinggi,
serta tidak boleh mengangkat beban secara berlebihan.
Kami
ikuti saran dokter, kami benar-benar menjaga hubungan, dan setiap hari kami
panjatkan doa kepada Illahi, “Ya Allah ya Rob, ijinkanlah kami mendapatkan
amanah untuk mmemperoleh keturunan dalam keluarga yang sakinah mawaddah
warohmah,” ujarku dalam doa-doaku saat sholat maupun saat malam menjelang
tidur.
Jika
para ibu-ibu hamil memeriksakan kandungannya satu bulan sekali,
maka aku harus memeriksakan kehamilanku dua minggu sekali, satu kali periksa
plus membayar vitamin dan obat-obatan dengan jumlah lumayan tetap kami lakukan
walau penghasilan saat itu masih pas-pasan. Pengharapan kami lakukan lewat
usaha dan doa, hingga pengharapanku dikabulkan oleh Allah Subhana Wata’allah. Saat
itu, Selasa 18 Maret 2003, menurut dokter usia kandunganku masih 35 minggu,
atau delapan bulan lebih dua minggu, mestinya bayiku diperkirakan lahir awal
april, tapi ini sangat sakit. Tanpa berpikir panjang kami langsung ke pergi ke
salah satu rumah sakit ternama di kota
Medan. Sesampainya di rumah sakit, suamiku menghubungi dokter ahli kandungan
yang menangani kehamilanku. Akhirnya, setelah dilakukan pemeriksaan dokter
bilang kandungan sudah bisa dilahirkan, dan sepakat melalui jalur operasi,
besoknya, Rabu 19 Maret 2003.
Alhamdullilah,
anakku lahir dengan suara tangis yang memekik, pertanda dia dalam keadaan
baik-baik. Dalam keadaan dibalut kain timbangannya hanya dua kilo seperempat,
sangat kecil dan mungil. Ternyata Allah masih menguji imanku, ketabahanku, dan
membiarkan air mataku mengalir. Anakku tidak mau kususui, sudah tiga hari air
susuku juga belum keluar, kata perawat anakku harus dibantu dengan susu untuk
bayi yang kurang bulan. Kami ikut saja saran rumah sakit walau harga susunya
lima kali lipat lebih mahal dari susu formula yang lain.
Lima hari pasca melahirkan, aku diperbolehkan
pulang tetapi anakku harus tinggal di rumah sakit karena berat badannya
berkurang menjadi dua kilo gram. “Ya Allah, cobaan apalagi yang harus kutempuh,”
pekikku dalam hati dengan derai air mata yang tak terkendali. Aku menolak untuk
pulang, aku harus tetap menunggu di rumah sakit. Sepanjang hari kuhabiskan
waktu berdiri didepan kamar dimana bayi-bayi dikumpulkan, di balik kaca itu
kulihat bayi-bayi tidur di tempatnya masing-masing tetapi anakku berada dalam
inkubator, memakai selang infus untuk memberikan asupan giji dan vitaminnya. Ngilu
hatiku melihatnya, aku penasaran apa yang telah terjadi pada anakku.
Kebetulan saat
itu, salah satu perawat yang merawat anakku aku kenal, dia teman semasa SMP,
padanya aku bertanya, apa yang terjadi pada anakku. Diapun menjelaskan bahwa
pusar anakku mengalami infeksi, pusarnya memerah dan yang lebih parahnya anakku
tidak mau minum susu formula yang menyebabkan berat badannya menurun. Mendengar
penjelasannya aku menangis dan berguman, “Ya Allah, ampuni dosaku, ijinkan aku
merawatnya,” ujarku.
Aku meminta
masuk ke ruang bayi, kucoba menyusui anakku dengan berguman dalam hati, “menyusuhlah
nak, mamak akan berhenti bekerja untuk merawatmu sampai sehat dan kau bisa
menyusu sampai kapanpun kau mau,” ujarku dalam hati. Semula anakku menolak,
berulang kali kuucapkan janjiku buat anakku, dan mungkin dilihatknya aku serius
bahkan aku menangis akhirnya dia mau menyusu, dan seperti keajaiban air
susukupun mengalir deras. Mungkin Allah mendengarkan doaku, dan akupun berniat
menepati janjiku.
Setelah lima
hari, bayikupun sehat, pusarnya yang memerah menjadi normal hanya saja tali
pusarnya belum putus karena tali pusar yang menghubungkan keperut lumayan lebar
dibanding pusar bayi-bayi yang lain. Temanku
memberikan saran agar memanggil bidan untuk memandikan dan merawat anakku
sampai tali pusarnya putus. Kuturuti apa yang menjadi saran temanku itu, dan
tali pusar anakku putus 28 hari. Bahagia hati kami melihat perkembangan tubuhnya,
akupun berhenti bekerja. Setelah 36 hari kamipun membuat syukuran,
mengaqiqahkan anakku. Dengan rasa bahagia kami beri nama dia Yusriyyah
Syakinah, yang artinya anak yang membawa kesenangan, kebahagiaan dan ketenangan,
begitulah yang kami rasakan saat itu.
Satu tahun
delapan bulan anakku diserang diare, setelah menyusuh dia mencret. Aku pergi ke
dokter, dari hasil pemeriksaan ternyata aku hamil, anakku yang kedua. Kondisi
ekonomipun saat itu sangat berat, usaha dagang suamiku harus ditutup karena
tidak punya izin, jika dijalankan pun harus ‘menyetor’ uang bulanan kepada oknum aparat, hal
itu sangat bertentangan dengan hati
nurani. Dengan memohon ampun kepada Allah dan berdialog dengan anakku, meskipun
anakku belum mengerti, akupun kembali
memutuskan bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
Kulalui
kehamilan anakku yang kedua dengan bekerja di salah satu media di kota Medan. Media
yang profesional karena menyediakan fasilitas buat karyawannya termasuk
fasilitas kesehatan berupa asuransi kesehatan. Perawatan kehamilanku
ditanggung, bahkan aku dapat memilih dokter ahli kandungan yang profesional
yang ada di Kota Medan. Kehidupanku saat itu seperti air yang mengalir, nyaman, tidak ada keluhan dalam
kehamilanku. Dalam doaku aku berharap semoga anak yang ada dalam kandunganku ini
laki-laki, karena anak pertamaku perempuan.
Kusiapkan nama
laki-laki buat anakku, hingga usia kandungan sembilan bulan dua minggu. Saat
pemeriksaan terakhir dokter mengatakan, anaknya sudah cukup umur untuk
dilahirkan dan kata dokter panggulku kecil tidak bisa melahirkan normal, harus
operasi. Jadwalpun dibuat, Selasa 9 September 2005, tanpa ada rasa sakit
sedikitpun aku memasuki ruang operasi. Kali ini operasiku berlangsung lama,
sampai enam jam, setelah anakku lahir dan ternyata perempuan. Kata dokter yang
saling berbincang katanya kondisi perutku bermasalah, karena operasi pertama
yang kurang rapi. Pembicaraan dokter sangat jelas ditelingaku karena saat itu
aku mendapatkan bius setengah. Aku letih, sudah lima jam berlalu tapi belum
selesai, sementara suntikan bius ditambah. Dalam hati aku mohon ampun kepada
Allah, atas kesombonganku, atas keegoisanku mengharapkan anak laki-laki. Operasi
usai, saat berada di ruang pemulihan semua orang terlihat membesar karena
pengaruh bius yang terlalu banyak.
Dua hari pasca
pemulihan, anakku pun diberikan kepadaku untuk disusui. Aku terkejut melihat
wajah anakku, mirip sekali sama suamiku. Berat badannya 3,5 kg dengan panjang
50 cm, sebuah ukuran ideal untuk bayi yang baru lahir. Tapi meski dia perempuan
wajahnya seperti anak laki-laki. Aku mohon ampun kepada Allah atas keinginanku
mendapat anak laki-laki, harusnya apapun itu tetap harus kusyukuri. Setelah 14
hari, kamipun membuat syukuran dan akiqah buat anakku yang kedua, dan kamipun
memberi nama anak kami, Annisah Asilah yang artinya, gadis yang lemah
lembut gemulai. Kami berharap kelak dia akan menjadi gadis yang lemah lembut
gemulai. Aku dan suamiku mensyukuri rezeki Allah dengan hadirnya dua anak
perempuan sebagai hadiah terindah dari Allah untuk keluarga kami.
Sejak lahirnya
anakku yang kedua, aku tidak pernah lagi hamil meskipun aku tidak pernah ikut
program Keluarga Berencana (KB). Allah hanya memberikan kepercayaan dua orang
anak buat kami, anakku Yusriyyah Syakinah kini berusia 14 tahun, dan adiknya
Annisah Asilah berusia 11 Tahun. Aku bersyukur dan berucap; “Nikmat Allah mana
lagi yang aku dustai, maha sempurna Allah, Dia punya hak mutlak untuk takdir
hambaNya termasuk takdir dalam memperoleh anak”. (SELESAI. SEMOGA BERMANFAAT).
Note : Tulisan ini diikutkan dalam lomba @ GA Perdana Dian Onasis
Note : Tulisan ini diikutkan dalam lomba @ GA Perdana Dian Onasis
terima kasih atas keikutsertaannya ya mbak :)
BalasHapusAlhamdulillah ya mbak. . penantian yang membahagiakan. .
BalasHapusAlhamdullilah, akhirnya Allah memberikan "amanahNya" juga untukku sebagai ibu.
HapusAllah tidak pernah memberikan cobaan di luar kemampuan hambanNYA ya, mbak.
BalasHapusIya..
HapusInn Sya Allah, karena itu jangan pernah berhenti berdoa dan berharap.
Mengharukan...
BalasHapus